Blog TB/KB/TKIT Salman Al Farisi 2 Yogyakarta

"Dan hendaklah kamu sekalian takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka, oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (Q.S. An Nisaa' : 9)


Pendataan siswa baru tahun ajaran 2013/2014 bisa lihat di sini


Jumat, 29 April 2011

Mengukur Kasih Sayang Kita pada Anak

Wanita itu terdiam, tapi keinginannya masih menyala. keinginan untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Di depannya sang suami hanya bisa terdiam. Dalam gendongannya sang anak tertidur pulas."Ini kesempatan baik buatku, Mas. Aku kepingin kuliah di luar." Sang suami masih diam. Seluruh alasan untuk 'mencegah' istrinya telah dikemukakannya.

"Ini kesempatan prestise, Mas."
"Untuk siapa?" tanya sang suami.
"Untuk karirku. Jarang ada yang bisa meraih peluang ini." Ruang itu kembali sunyi. Masing-masing menundukkan kepala. Diam. Sang anak yang berada dalam gendongan sang suami menggeliat. Lalu kembali tertidur.
"Bagaimana dengan anak? Akankah kau ajak. Terus terang aku sendiri agak susah meninggalkan pekerjaan di sini."
"Menurutku lebih baik dia berada di sini. Tak mungkin aku membawanya. Dia masih terlalu kecil untuk dibawa pergi," kata sang istri sambil melihat lukisan yang tertempel di dinding sebelah kanan.
"Tapi apakah dia sudah terlalu besar untuk ditinggal pergi oleh satu-satunya orang yang disebut ibu!" Nada suara sang suami sedikit meninggi, lalu kembali disusul oleh sunyi. Pembicaraan itu tidak berujung kesepakatan. Sang istri tetap berangkat kuliah keluar negeri, meninggalkan sang anak yang masih bayi.

KISAH DI ATAS pernah dituturkan oleh salah seorang sahabat kepada kami. Kisah yang sangat sederhana. Padahal, sesederhana apapun sebuah peristiwa, seringkali ia mampu menyajikan hikmah luar biasa bagi kita. melalui kisah di atas, saya ingin berbagi tentang bagaimana kita menyayangi anak-anak. Kita seringkali telah merasa ‘menyayangi’ anak-anak. Sementara kita tidak pernah mengetahui apakah anak-anak telah benar-benar terpenuhi kasih sayang kita.
Tanpa sadar banyak di antara orang tua yang bersikap sangat egois kepada anak-anak. Mereka telah ‘merasa’ bahwa apa yang dilakukannya ditujukan untuk masa depan anak-anak; untuk kepentingan anak. Padahal, yang terjadi karena orang tua tidak ingin diganggu oleh anak. Marilah kita melihat tindakan kita sehari-hari. Betapa banyak kemarahan kita kepada anak, sebenarnya karena kita tidak ingin direpotkan oleh anak, meskipun kita mengatakan kepada mereka bahwa kemarahan kita untuk kebaikan anak.
Kita menjadi mudah marah ketika anak-anak terlalu lama mengunyah makanan. Kalimat-kalimat bernada tinggi pun keluar tanpa terkontrol. Dengan serta merta kita katakan kepada mereka, “Ayo cepet dikunyah to! Bagaimana mau cepat gedhe kalau makannya lambat seperti itu.” Benarkah kita meluapkan kemarahan karena untuk kebaikan anak? Atau, sebenarnya karena kita tidak ingin direpotkan oleh kelakuan anak; kita tidak bersedia berlama-lama dalam satu aktivitas yang sebenarnya, bagi kita, dapat dilakukan lebih cepat.
Betapa banyak di antara kita merasa kesal dan marah setiap kali arahan kita sebagai orang tua diabaikan anak. Keributan kecil menjelang sekolah, saat-saat ketika anak enggan untuk segera tidur, ketika anak susah untuk mandi, dan sebagainya, seakan menjadi potret betapa kita mudah sekali marah pada anak. Sebagian orang tua yang lain berusaha menekan anak agar memperoleh nilai (angka) yang memuaskan di sekolah, memaksa anak-anak agar segera menguasi berhitung dan membaca, mendesak anak agar menguasai alat musik tertentu, dan menggiring anak-anak agar dapat terlibat dalam panggung-panggung mencari bakat. Padahal, beberapa di antaranya merupakan siksaan batin bagi anak. Dalam kasus-kasus demikian, orang tua sering lebih mengedepankan egoisme diri daripada memperhatikan kebutuhan jiwa anak.
Sementara orang tua yang lain sibuk dengan aktivitas (yang konon katanya untuk anak-anak juga). Sampai-sampai tidak ada lagi waktu bagi anak dan keluarga. Anak-anak lebih dekat dengan orang lain (pembantu, misalnya) daripada dengan orang tua mereka. Persis seperti kisah sederhana di awal tulisan ini. Kita kadang hanya merasa telah menyayangi anak-anak. Padahal, pada banyak kasus, kita sering mendesak anak-anak agar memaklumi kita. Sementara pada banyak keadaan yang lain, sebenarnya kita gagal memahami dan memaklumi anak-anak. Kita terlalu pandai menekan anak agar memaklumi kesibukan, keinginan-keinginan, dan standar-standar kita. Namun, kita sering lupa untuk piawai memahami keinginan dan harapan anak-anak.
Banyak di antara kita berharap anak-anak kelak menjadi salih dan mampu mendoakan kita. Tapi sayangnya, kebersamaan kita dengan anak-anak terlalu sedikit untuk mampu membentuk karakter dan mengajari mereka berdoa yang baik, karena waktu yang dimiliki lebih banyak dihabiskan pada karir, pekerjaan, dan keinginan-keinginan pribadi kita sendiri. Saksikan film I not Stupid Too. Kita akan belajar dan mengerti bahwa ada banyak orang tua yang tidak berani mengorbankan karir dan peluang bisnisnya hanya sekedar untuk menghadiri pentas anak di sekolah. Keinginan kita untuk mendidik anak dan membersamainya dikalahkan oleh keinginan kita untuk sukses dalam karir dan pekerjaan. Padahal, keinginan anak terkadang sangat sederhana, tetapi begitu mahal untuk dipenuhi oleh orang tua yang telah merasa cukup menyayangi anak-anak mereka. Nah, seperti apakah kasih sayang kita kepada anak-anak? Wallahu a’lam bish-showab.oleh, Dwi Budiyanto (Komite Bid.Pendidikan) []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar